Puisi

Didalam sunyinya malam
Pada jarak ratusan kilometer
Ku coba ciptakan puisi
Untukmu yang sematkan rindu dihati
Yang masih canggung ku pandang
Yang buatku cemburu dengan kesibukanmu
Hari ini adalah hari mu
Selamat mengulang tanggal dan bulan lahir,
Cintaku,
Alunan doaku menyelimuti panjangnya umurmu
Semoga kau lekas menjadi siapa dihidupku
Allah memberkahi mu,
Sayangku,
                                                                       Ai

                                                                   Jakarta Timur (20/10/2017)

cerpen agak malu-maluin

Sore Fajar
            Sore benar-benar pergi naik gunung, dia tak izin dengan kedua orang tuanya, karena dia tahu jika mereka takkan memberikannya izin. Semuanya terasa melelahkan, bagaimana tidak lelah? Dia tak pernah mengambil cuti kerja di kantornya selama empat tahun, kecuali jika lebaran dan sedang sakit, itu pun hanya dua hari. Sore memiliki tubuh yang kuat dan hidup dengan sehat, hanya jam tidurnya yang memang tak tentu karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya, hingga bos di kantornya pun sangat menyukainya karena hasil pekerjaan yang memuaskan. Sore selalu ingin terlihat sibuk, menurutnya jika waktu luang hanya akan membuat ia memikirkan yang tidak-tidak. Tentang jodoh, misalnya.
                                                                        *
            Fajar akhirnya mengikuti ajakan temannya untuk naik gunung. Itu juga karena temannya mau membiayai semua keperluannya. Jika tidak,mana mungkin Fajar mau ikut, untuk makan sehari-hari saja dia susah. Menjadi pengangguran itu memang tak mudah bagi siapapun. Lagi pula, gunung itu tak terlalu tinggi baginya yang baru dua kali naik gunung, 2565 mdpl. Ketinggian itu membuatnya merasa dingin pastinya, tetapi disisi lain ia merasa menang dari segala masalah yang ia tinggal di bawah.
                                                                        *
Apakah aku gila? Tanya Sore pada dirinya sendiri. Naik gunung sendirian dan dia seorang perempuan, mungkin ini hal paling gila yang dia lakukan di hidupnya yang biasanya hanya diisi dengan kesibukan.
Awalnya Sore ikut dengan sebuah rombongan pecinta alam dari Jakarta, namun di perjalanan dia merasa lelah lalu istirahat terlalu lama hingga tak sadar sudah ditinggal rombongan. Ini perjalanan naik gunung pertama baginya, dia tak tahu bagaimana medannya. Keputusan untuk naik gunung pun sangat mendadak, tak ada persiapan sama sekali. Tetapi, ia tetap melanjutkan perjalanan, ia ingin merasakan berada di puncak ketinggian 2565 mdpl.
                                                                        *
Fajar kehilangan teman-temannya di tengah perjalanan karena dia jalan dengan terlalu santai. Sial baginya, semua perlengkapan logistik tak ada padanya kecuali satu botol air mineral kemasan satu liter yang saat ini hanya tinggal setengah. Dia ragu-ragu apa harus turun atau melanjutkan perjalanan ke atas. Tampaknya tak ada sumber mata air di gunung ini, kehausan itu yang lebih mengkhawatirkan daripada kelaparan.
Kemudian, ia melihat seorang perempuan lewat di depannya ketika ia sedang bangkit dari istirahat di bawah pohon. Perempuan itu sepertinya sendirian naik gunung tengah malam. Seketika Fajar merasa tak ingin turun, ia tak mau kalah dengan perempuan itu.
“Kalau naik gunung jangan ganjil jumlah orangnya, entar waktu turun ada yang kurang.” Fajar mengatakannya sembari menjajari langkah perempuan sendirian itu.
“Iya, pasti ada yang kurang pas turun. Kurang beban dari logistik dan air yang dibawa.” Jawab perempuan itu dengan hanya melihat ke arah Fajar sekilas.
Wajah perempuan sendirian yang rambutnya diikat kuncir kuda itu tampak tersenyum sedikit, matanya bulat besar penuh ketegasan, hidungnya sedikit besar tapi mancung, bibirnya tebal dengan warna kemerahan meski tanpa olesan gincu, yang paling Fajar suka dari wajahnya yakni alis, alisnya begitu hitam tebal dan bertemu di tengah jarak antara kedua alis itu. Sepertinya, perempuan yang menarik dan pasti suka menyendiri.
                                                                        *
Sore sedikit terkejut ketika seorang laki-laki menyapanya dengan berkata hal-hal yang menurutnya takhayul. Tetapi, disisi lain sedikit merasa senang karena ia jadi tak sendirian.
Laki-laki itu tampaknya sendirian juga, Sore tak melihat ada rombongan bersamanya. Jadi, mereka berdua akhirnya berjalan bersama. Wajah laki-laki itu membuatnya yakin bahwa ia orang yang baik. Sebuah praduga memang, tetapi dugaannya biasanya selalu tepat. Laki-laki itu memiliki alis yang tak terlalu tebal, tetapi sangat terlihat meyakinkan. Hidungnya bahkan membuat Sore ingin menekannya, karena menjorok ke dalam. Bibirnya  tidak tebal juga tidak tipis tapi agak gelap, sepertinya perokok. Dari keseluruhan wajahnya, yang paling disukai Sore adalah tulang rahangnya, tampak sangat tegas dan keras.
            Fajar, namanya. Lucu setiap yang dikatakannya. Tingkahnya menjaga. Menghabiskan air mineral kerjaannya. Melakukan perjalanan seperti ini dengannya sangat menyenangkan, dia seperti memiliki energi positif yang selalu membuatku merasa bahagia dan merasa aman meski kita baru saling mengenal. Tawanya sangat menular, membuatku lupa bahwa baru kali ini aku tertawa selepas ini karena laki-laki yang baru kutemui.
                                                                        *
Sesampainya di puncak, Fajar membantu Sore mendirikan tenda. Setelah itu, mereka membuat makanan seadanya. Fajar merasa beruntung bertemu Sore, ia jadi tak merasa kehausan dan kelaparan itu yang paling utama. Namun, disadarinya juga ia gembira melihat tawa pada wajah Sore, manis langsung terasa. Tampaknya, Sore tak pernah tertawa sesering ini di hidupnya.
“Bukankah menyenangkan berada di atas sini ?” Fajar berkata sembari memandangi sinar mentari yang baru menampakkan diri.
“Menyebalkan, jika bersama orang sepertimu yang hampir menghabiskan bekal air mineralku.” Jawab Sore dengan gurauan.
“Padahal aku sedang ingin serius.”
“Serius untuk apa?”
“Serius menghabiskan air mineralmu.” Fajar mengatakannya dan langsung meminum air mineral Sore lagi, untuk kesekian kalinya. Mereka tertawa, entah menertawakan apa.
Satu yang pasti dari kebersamaan mereka, kenangan tercipta. Mereka tanpa sadar saling menghibur meski tak tahu permasalahan apa yang sedang dihadapi satu sama lain.
Setelah menghabiskan bekal minum dan makan milik Sore serta memastikan semuanya aman, Fajar mencari teman-temannya. Untung saja, tenda teman-teman Fajar ternyata tak jauh dari tenda milik Sore. Teman-teman Fajar hampir saja mau melaporkan kehilangan seseorang karena takut jika Fajar ternyata jatuh di perjalanan. Untungnya Fajar hanya ketinggalan dan kembali dengan keadaan baik-baik.
                                                                        *
            Sore turun dengan Fajar dan teman-temannya. Setelah sampai di bawah, tiba-tiba Fajar memberikan sebuah liontin perak berbentuk matahari pada Sore.
“Untuk apa kau memberikan ini padaku?”
“Untuk kau buang, itu pemberian dari seseorang padaku, lalu ku berikan lagi padamu. Untuk kenang-kenangan kalau kita pernah bertemu, mau kau buang atau kau simpan itu terserah padamu.”
“Terima kasih Fajar, semoga aku tak menghilangkannya.”
Sampai disitu, mereka berpisah menuju kepulangan masing-masing. Setelah cukup lama, Sore baru sadar kalau ia tak tahu dimana Fajar tinggal. Sudah lah, mungkin memang mereka hanya ditakdirkan untuk bertemu dalam satu perjalanan saja, pikirnya. Namun dalam lubuk hatinya, Sore menyimpan sedikit harapan bahwa mereka bisa bertemu lagi suatu hari nanti. Meskipun itu kemungkinan yang sangat kecil, ia tetap berharap meski pada udara kosong sekalipun.
                                                                        *
Fajar menyesal tak menanyakan alamat atau kontak yang bisa dihubungi pada Sore. Bagaimana cara untuk menemukannya lagi, sedangkan yang ia tahu hanya nama Sore dan wajahnya yang manis itu. Sungguh, terkadang kebahagiaan  membuatku sedikit bodoh, pikirnya.
Tahun berlalu sejak perjalanan naik gunung bersama Sore kala itu. Fajar belum bertemu lagi dengan Sore meski hanya sekali, itu juga belum pernah. Lambat laun, semuanya berubah, Fajar sudah tua ketika ia didiagnosa menderita penyakit Leukimia. Ia sendirian, mengharapkan satu mimpi yang belum kejadian.

Sore sedang membuka laptopnya lalu ia teringat pada temannya yang katanya mengirim foto di facebooknya. Tiba-tiba ia menemukan sebuah nama yang mengingatkan pada kejadian bertahun-tahun silam, perjalanan yang penuh kenangan hingga kini belum terlupakan.
Setelah tahu cerita Fajar yang menghubunginya, ia bergegas mencari nama rumah sakit di mana Fajar sedang dirawat. Sore pergi hingga keluar kota untuk menemui Fajar yang sedang sakit, ia hanya ingin menemuinya, itu saja cukup baginya.
“Kenapa sekarang rambutmu telah memutih?” tanya Sore pada Fajar yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.
“Aku mengecatnya saat aku tahu bahwa kau akan datang menemuiku.”
“Kau tak berubah rupanya, masih suka bergurau.”
“Aku selalu mencarimu, tapi tetap saja tak kutemukan.”
“Bohong, bukankah kau setiap hari menemui sore setelah siang dan sebelum malam.”
“Sore yang ini yang selalu ku cari.” Jawab Fajar  dengan menggenggam tangan Sore dan menyelipkan sebuah kertas. “Bacalah tulisanku yang jelek itu ketika kau sedang tidak sibuk.”
“Aku masih menyimpan liontin matahari yang kau berikan padaku, haruskah ku kembalikan padamu?”
“Tidak usah, itu telah menjadi milikmu dan akan selalu menjadi milikmu.”
“Syukurlah aku tak perlu mengembalikannya, jadi aku bisa tetap memiliki jimat keberuntunganku ini.”
"Sebenarnya liontin ini adalah pemberian ibuku." Fajar berkata sambil memegang liontinnya "Ibuku memberikannya dan berharap agar aku memberikan liontin ini pada seseorang yang istimewa."
"Jadi, aku adalah orang yang istimewa?" tanya Sore. 
Fajar memberikan liontin itu lagi pada Sore dengan berkata "Kau istimewa karena kau selalu jadi dirimu sendiri. Lebih istimewa lagi karena kau tak marah ketika ku habiskan bekal air mineralmu."
Mereka lalu tertawa, semuanya telah berbeda. Tak lagi sama meski perpisahan itu telah kembali. Sangat menyenangkan ketika akhirnya bisa mewujudkan satu harapan meskipun itu butuh waktu yang sangat lama, tapi tetap saja itu adalah sebuah pencapaian bukan?
Sore datang dengan gembira, mengantar Fajar pergi dengan bahagia.
            Sore itu manis, aku baru tahu rasanya
            Sore itu cantik, aku baru tahu senyumnya
            Sore itu buruk, aku baru tahu setelah kehilangannya
            Sore akan datang, jika Fajar akan menghilang
Sepenggal dari tulisan jelek yang diberikan Fajar pada Sore.