Sore Fajar
Sore benar-benar pergi naik gunung, dia tak izin
dengan kedua orang tuanya, karena dia tahu jika mereka takkan memberikannya
izin. Semuanya terasa melelahkan, bagaimana tidak lelah? Dia tak pernah
mengambil cuti kerja di kantornya selama empat tahun, kecuali jika lebaran dan
sedang sakit, itu pun hanya dua hari. Sore memiliki tubuh yang kuat dan hidup
dengan sehat, hanya jam tidurnya yang memang tak tentu karena terlalu sibuk
dengan pekerjaannya, hingga bos di kantornya pun sangat menyukainya karena
hasil pekerjaan yang memuaskan. Sore selalu ingin terlihat sibuk, menurutnya
jika waktu luang hanya akan membuat ia memikirkan yang tidak-tidak. Tentang
jodoh, misalnya.
*
Fajar akhirnya mengikuti ajakan temannya untuk naik
gunung. Itu juga karena temannya mau membiayai semua keperluannya. Jika
tidak,mana mungkin Fajar mau ikut, untuk makan sehari-hari saja dia susah.
Menjadi pengangguran itu memang tak mudah bagi siapapun. Lagi pula, gunung itu
tak terlalu tinggi baginya yang baru dua kali naik gunung, 2565 mdpl.
Ketinggian itu membuatnya merasa dingin pastinya, tetapi disisi lain ia merasa
menang dari segala masalah yang ia tinggal di bawah.
*
Apakah aku gila? Tanya
Sore pada dirinya sendiri. Naik gunung sendirian dan dia seorang perempuan,
mungkin ini hal paling gila yang dia lakukan di hidupnya yang biasanya hanya
diisi dengan kesibukan.
Awalnya Sore ikut
dengan sebuah rombongan pecinta alam dari Jakarta, namun di perjalanan dia
merasa lelah lalu istirahat terlalu lama hingga tak sadar sudah ditinggal
rombongan. Ini perjalanan naik gunung pertama baginya, dia tak tahu bagaimana
medannya. Keputusan untuk naik gunung pun sangat mendadak, tak ada persiapan
sama sekali. Tetapi, ia tetap melanjutkan perjalanan, ia ingin merasakan berada
di puncak ketinggian 2565 mdpl.
*
Fajar kehilangan
teman-temannya di tengah perjalanan karena dia jalan dengan terlalu santai.
Sial baginya, semua perlengkapan logistik tak ada padanya kecuali satu botol
air mineral kemasan satu liter yang saat ini hanya tinggal setengah. Dia
ragu-ragu apa harus turun atau melanjutkan perjalanan ke atas. Tampaknya tak
ada sumber mata air di gunung ini, kehausan itu yang lebih mengkhawatirkan
daripada kelaparan.
Kemudian, ia melihat
seorang perempuan lewat di depannya ketika ia sedang bangkit dari istirahat di
bawah pohon. Perempuan itu sepertinya sendirian naik gunung tengah malam.
Seketika Fajar merasa tak ingin turun, ia tak mau kalah dengan perempuan itu.
“Kalau naik gunung
jangan ganjil jumlah orangnya, entar waktu turun ada yang kurang.” Fajar
mengatakannya sembari menjajari langkah perempuan sendirian itu.
“Iya, pasti ada yang
kurang pas turun. Kurang beban dari logistik dan air yang dibawa.” Jawab
perempuan itu dengan hanya melihat ke arah Fajar sekilas.
Wajah perempuan
sendirian yang rambutnya diikat kuncir kuda itu tampak tersenyum sedikit,
matanya bulat besar penuh ketegasan, hidungnya sedikit besar tapi mancung,
bibirnya tebal dengan warna kemerahan meski tanpa olesan gincu, yang paling
Fajar suka dari wajahnya yakni alis, alisnya begitu hitam tebal dan bertemu di
tengah jarak antara kedua alis itu. Sepertinya, perempuan yang menarik dan
pasti suka menyendiri.
*
Sore sedikit terkejut
ketika seorang laki-laki menyapanya dengan berkata hal-hal yang menurutnya
takhayul. Tetapi, disisi lain sedikit merasa senang karena ia jadi tak
sendirian.
Laki-laki itu tampaknya
sendirian juga, Sore tak melihat ada rombongan bersamanya. Jadi, mereka berdua
akhirnya berjalan bersama. Wajah laki-laki itu membuatnya yakin bahwa ia orang
yang baik. Sebuah praduga memang, tetapi dugaannya biasanya selalu tepat.
Laki-laki itu memiliki alis yang tak terlalu tebal, tetapi sangat terlihat
meyakinkan. Hidungnya bahkan membuat Sore ingin menekannya, karena menjorok ke
dalam. Bibirnya tidak tebal juga tidak
tipis tapi agak gelap, sepertinya perokok. Dari keseluruhan wajahnya, yang
paling disukai Sore adalah tulang rahangnya, tampak sangat tegas dan keras.
Fajar, namanya. Lucu setiap yang dikatakannya. Tingkahnya
menjaga. Menghabiskan air mineral kerjaannya. Melakukan perjalanan seperti ini
dengannya sangat menyenangkan, dia seperti memiliki energi positif yang selalu
membuatku merasa bahagia dan merasa aman meski kita baru saling mengenal. Tawanya
sangat menular, membuatku lupa bahwa baru kali ini aku tertawa selepas ini
karena laki-laki yang baru kutemui.
*
Sesampainya di puncak,
Fajar membantu Sore mendirikan tenda. Setelah itu, mereka membuat makanan
seadanya. Fajar merasa beruntung bertemu Sore, ia jadi tak merasa kehausan dan
kelaparan itu yang paling utama. Namun, disadarinya juga ia gembira melihat
tawa pada wajah Sore, manis langsung terasa. Tampaknya, Sore tak pernah tertawa
sesering ini di hidupnya.
“Bukankah menyenangkan
berada di atas sini ?” Fajar berkata sembari memandangi sinar mentari yang baru
menampakkan diri.
“Menyebalkan, jika
bersama orang sepertimu yang hampir menghabiskan bekal air mineralku.” Jawab
Sore dengan gurauan.
“Padahal aku sedang
ingin serius.”
“Serius untuk apa?”
“Serius menghabiskan
air mineralmu.” Fajar mengatakannya dan langsung meminum air mineral Sore lagi,
untuk kesekian kalinya. Mereka tertawa, entah menertawakan apa.
Satu yang pasti dari
kebersamaan mereka, kenangan tercipta. Mereka tanpa sadar saling menghibur
meski tak tahu permasalahan apa yang sedang dihadapi satu sama lain.
Setelah menghabiskan
bekal minum dan makan milik Sore serta memastikan semuanya aman, Fajar mencari
teman-temannya. Untung saja, tenda teman-teman Fajar ternyata tak jauh dari
tenda milik Sore. Teman-teman Fajar hampir saja mau melaporkan kehilangan
seseorang karena takut jika Fajar ternyata jatuh di perjalanan. Untungnya Fajar
hanya ketinggalan dan kembali dengan keadaan baik-baik.
*
Sore turun dengan Fajar dan teman-temannya. Setelah
sampai di bawah, tiba-tiba Fajar memberikan sebuah liontin perak berbentuk
matahari pada Sore.
“Untuk apa kau
memberikan ini padaku?”
“Untuk kau buang, itu
pemberian dari seseorang padaku, lalu ku berikan lagi padamu. Untuk
kenang-kenangan kalau kita pernah bertemu, mau kau buang atau kau simpan itu
terserah padamu.”
“Terima kasih Fajar,
semoga aku tak menghilangkannya.”
Sampai disitu, mereka
berpisah menuju kepulangan masing-masing. Setelah cukup lama, Sore baru sadar
kalau ia tak tahu dimana Fajar tinggal. Sudah lah, mungkin memang mereka hanya
ditakdirkan untuk bertemu dalam satu perjalanan saja, pikirnya. Namun dalam
lubuk hatinya, Sore menyimpan sedikit harapan bahwa mereka bisa bertemu lagi
suatu hari nanti. Meskipun itu kemungkinan yang sangat kecil, ia tetap berharap
meski pada udara kosong sekalipun.
*
Fajar menyesal tak
menanyakan alamat atau kontak yang bisa dihubungi pada Sore. Bagaimana cara
untuk menemukannya lagi, sedangkan yang ia tahu hanya nama Sore dan wajahnya
yang manis itu. Sungguh, terkadang kebahagiaan
membuatku sedikit bodoh, pikirnya.
Tahun berlalu sejak
perjalanan naik gunung bersama Sore kala itu. Fajar belum bertemu lagi dengan
Sore meski hanya sekali, itu juga belum pernah. Lambat laun, semuanya berubah,
Fajar sudah tua ketika ia didiagnosa menderita penyakit Leukimia. Ia sendirian,
mengharapkan satu mimpi yang belum kejadian.
Sore sedang membuka
laptopnya lalu ia teringat pada temannya yang katanya mengirim foto di
facebooknya. Tiba-tiba ia menemukan sebuah nama yang mengingatkan pada kejadian
bertahun-tahun silam, perjalanan yang penuh kenangan hingga kini belum
terlupakan.
Setelah tahu cerita
Fajar yang menghubunginya, ia bergegas mencari nama rumah sakit di mana Fajar
sedang dirawat. Sore pergi hingga keluar kota untuk menemui Fajar yang sedang
sakit, ia hanya ingin menemuinya, itu saja cukup baginya.
“Kenapa sekarang
rambutmu telah memutih?” tanya Sore pada Fajar yang sedang berbaring di ranjang
rumah sakit.
“Aku mengecatnya saat
aku tahu bahwa kau akan datang menemuiku.”
“Kau tak berubah
rupanya, masih suka bergurau.”
“Aku selalu mencarimu,
tapi tetap saja tak kutemukan.”
“Bohong, bukankah kau
setiap hari menemui sore setelah siang dan sebelum malam.”
“Sore yang ini yang
selalu ku cari.” Jawab Fajar dengan menggenggam
tangan Sore dan menyelipkan sebuah kertas. “Bacalah tulisanku yang jelek itu
ketika kau sedang tidak sibuk.”
“Aku masih menyimpan
liontin matahari yang kau berikan padaku, haruskah ku kembalikan padamu?”
“Tidak usah, itu telah
menjadi milikmu dan akan selalu menjadi milikmu.”
“Syukurlah aku tak
perlu mengembalikannya, jadi aku bisa tetap memiliki jimat keberuntunganku
ini.”
"Sebenarnya liontin ini adalah pemberian ibuku." Fajar berkata sambil memegang liontinnya "Ibuku memberikannya dan berharap agar aku memberikan liontin ini pada seseorang yang istimewa."
"Jadi, aku adalah orang yang istimewa?" tanya Sore.
Fajar memberikan liontin itu lagi pada Sore dengan berkata "Kau istimewa karena kau selalu jadi dirimu sendiri. Lebih istimewa lagi karena kau tak marah ketika ku habiskan bekal air mineralmu."
"Sebenarnya liontin ini adalah pemberian ibuku." Fajar berkata sambil memegang liontinnya "Ibuku memberikannya dan berharap agar aku memberikan liontin ini pada seseorang yang istimewa."
"Jadi, aku adalah orang yang istimewa?" tanya Sore.
Fajar memberikan liontin itu lagi pada Sore dengan berkata "Kau istimewa karena kau selalu jadi dirimu sendiri. Lebih istimewa lagi karena kau tak marah ketika ku habiskan bekal air mineralmu."
Mereka lalu tertawa,
semuanya telah berbeda. Tak lagi sama meski perpisahan itu telah kembali.
Sangat menyenangkan ketika akhirnya bisa mewujudkan satu harapan meskipun itu
butuh waktu yang sangat lama, tapi tetap saja itu adalah sebuah pencapaian
bukan?
Sore datang dengan
gembira, mengantar Fajar pergi dengan bahagia.
Sore itu manis, aku
baru tahu rasanya
Sore
itu cantik, aku baru tahu senyumnya
Sore
itu buruk, aku baru tahu setelah kehilangannya
Sore
akan datang, jika Fajar akan menghilang
Sepenggal dari tulisan
jelek yang diberikan Fajar pada Sore.
0 komentar:
Posting Komentar